Skip to main content

17 Tahun Damai Aceh Delusi yang Memabukkan

Oleh: Rahmat Fahlevi

Dengan stimulus DOKA 17 tahun lamanya, Aceh bahkan belum mampu benar-benar membenah berbagai problematika yang terjadi pasca perang.

Yang tetap mempertahankan status quo sebagai provinsi termiskin dikarenakan perputaran berkah Otsus hanya bertengger pada pusaran elite.

Pembangunan bersifat top down ala kapitalisme hanya menunjukkan tendendius kepada kaum kelas menengah akan tetapi tidak ada keberpihak kepada rakyat kecil.

Ini yang disebut dengan desain ekonomi untuk kaum pemilik modal dan para tuna modal hanya menjadi penonton.

Dibelahan dunia manapun, termasuk Aceh hal itu terjadi dalam mode produksi.

Di beberapa opini sebelumnya saya menganjurkan agar desain kesejahteraan Aceh mengikuti pola ala negara-negara Skandinavia yang benar-benar menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat dan menjalankan transparansi dalam operasional dengan baik.

Hal itu tidak terjadi di Aceh, karena pola kepemimpinan kita masih bersifat tradisional-patrimonial.

Beberapa anotasi saya terkait refleksi 17 tahun damai Aceh yang bersifat multidimensi.

Proliferasi partai lokal

Terjadi pengembangbiakan partai lokal di Aceh bak jamur dimusim hujan. Beberapa orang melihat ini sebagai trend yang baik adanya eskalasi dan partisipasi politik sekaligus menjadi indikator kesehatan demokrasi, jika kita merujuk ke beberapa teori demokrasi kontemporer ala Thomas Power & Eve Warburton.

Secara parsial, saya melihat ini sebagai ancaman bukan hal yang positif namun akan saya jelaskan secara detail pula.

Saya sangat berharap bahwa parlok di Aceh itu hanya 1 atau 2 saja di parlemen agar terjadinya konvergensi kepentingan daerah yang di suarakan. Apabila lahirnya partai baru ini berpotensi akan sangat sulit mengartikulasikan kepentingan Aceh.

Lahirnya parlok baru pun bukan tanpa sebab, ada beberapa kausa yang akan saya utarakan.

Terjadinya penjamuran partai politik lokal adalah sebab inkonsistensinya Partai Aceh (PA) dalam mengutarakan pendapat. Pola kepemimpinan PA dalam pandangan saya bersifat elitis, untouched yang bahkan menjaga jarak dengan rakyat.

Hal ini tentu menjadi bomb waktu bagi elektabilitas dan impact elektoral bagi Partai Aceh.

Tidak adanya blueprint yang tepat dalam memperjuangkan kepentingan berbagai elemen lapisan masyarakat Aceh mengakibatkan terbentuknya partai-partai lokal baru yang merumuskan ideologi dan kepentingan mereka.

Lahirnya partai-partai lokal lain juga menjadi bukti bahwa terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap PA dalam mengakomodir kepentingan masyarakat.

Gros violation of human right yang terlupakan

Pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang 1976 hingga 2005 belum terselesaikan. Pemerintah hanya memberi stimulus materil bagi korban perang, namun banyak masyarakat yang secara psikis belum terpulihkan akibat perang berkepanjangan.

Pernah pada suatu hari di Aceh, beberapa mobil besar mengangkut artileri TNI untuk perayaan hari besar yang akan di gelar di Banda Aceh yang kebetulan melewati jalan nasional.

Di jalan tersebut ada beberapa warga yang sedang berjalan melihat mobil pengangkut artileri tersebut seraya berkata “Apa akan terjadi perang lagi?”

Mendengar cerita ini saya sangat prihatin, ini menunjukkan secara psikologis mental masyarakat belum benar-benar terpulihkan.

Pelanggaran HAM berat adalah fakta yang terjadi di Jambo Kupok, tragedi simpang KKA, kamp konsentrasi Rumoh Geudong, Buket Tangkorak, tragedi Jembatan Arakundoe, serta beberapa titik lainnya yang bahkan hingga sekarang hanya menjadi peringatan setiap tahunnnya dan menjadi inventariris saja tanpa melalui tahap penyelesaian dan recovery psikologis korban perang.

Elite Aceh hanya sibuk dalam teater “weuk tumpok” APBA setiap tahunnya untuk mengembalikan modal yang hilang karena kampanye, melakukan release dimedia terkait bendera, otsus yang hanya untuk mengeksploitasi simpati publik saja.

Saya rindu seorang revolusioner ala Hasan ditiro, kritiknya terhadap RI bukan tanpa dasar.

Ia mengkritik RI secara sosiologis, kultural, historis dan upaya melawan ketidakadilan orde baru.

Aceh hanya akan maju apabila dipimpin oleh intelektual prototipe Hasan tiro.(*)

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala Jurusan Fisip Ilmu Politik Asal Pidie Jaya, Aceh.



source https://www.acehglobalnews.com/opini/17-tahun-damai-aceh-delusi-yang-memabukkan/

Comments

Popular posts from this blog

H Marwan Resmi Dilantik sebagai Kakanmenag Kota Subulussalam

Subulussalam , AcehGlobalNews – Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Subulussalam resmi dijabat H Marwan Z, SAg, MM setelah prosesi pelantikan di Aula Kanwil Kemenag Aceh, Kamis (17/11/2022). Prosesi pelantikan Marwan dan sejumlah pejabat di lingkungan Kanwil Kemenag Aceh dilakukan Menteri Agama RI yang diwakili Kepala Kanwil Kemenag Aceh, Dr H Iqbal, SAg, MAg Saat dikonfirmasi, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Kemenag Kota Subulussalam, Jamhuri SHi membenarkan kabar tersebut. Dia mengucapkan selamat bertugas kepada Kakanmenag Kota Subulussalam yang baru dilantik. Menurutnya, penunjukan H Marwan sangat tepat. Pasalnya, H Marwan di Kemenag Kota Subulussalam bukan sosok baru. Kiprahnya dalam birokrasi terutama di Kemenag Kota Subulussalam sudah tidak diragukan. Berbagai jabatan pernah diembannya dengan sukses. “Penunjukkan beliau sangat tepat. Karier dan pengalaman beliau di birokrasi mumpuni. Kami ucapkan selamat bertugas kepada Kakanmenag yang baru saja dil...

Kemenko Polhukam Inisiasi Pertemuan Pemerintah Aceh dan Sumut Finalkan Status Empat Pulau

DENPASAR, AcehGlobalNews — Pemerintah Aceh Bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menghadiri Forum Koordinasi dan Konsultasi dalam Rangka Pembahasan Permasalahan Status Kepemilikan Empat Pulau (Pulau Mangkir Gadang/Besar, Pulau Mangkir Ketek/Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang) di Perbatasan Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh) dengan Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara). Forum ini diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sebagai tindak lanjut dari beberapa surat yang dilayangkan oleh Gubernur Aceh, yang meminta untuk dilakukannya fasilitasi penyelesaian sengketa 4 pulau dan garis batas laut antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Hadir dalam acara tersebut Tim Pusat yang terdiri dari Kemenko Marves, ATR/BPN, Pushidrosal dan BIG. Sedangkan dari Tim Aceh dihadiri Asisten 1 Sekda Aceh, Karo Pemotda, Karo Hukum, Ka DKP, Katopdam IM & Kabid survey BPN Aceh serta Asisten 1 Sekda Aceh Singkil. Dan Tim Sumut dihadiri ...

Ini Besaran Pagu Dana Desa Tahun 2023 Per Gampong di Abdya

Blangpidie, AcehGobalNews – Alokasi Dana Desa (DD) yang akan digelontorkan pemerintah pusat untuk Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), mencapai hingga Rp 113 milyar. Angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya senilai Rp 111 milyar. Hal tersebut berdasarkan lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 201/PMK.07/2022, tentang pengelolaan dana desa yang diperoleh AcehGlobalNews, Sabtu (24/12/2022). Pada PMK tersebut, jumlah total pagu dana desa yang akan dikucurkan pemerintah pusat ke Kabupaten Abdya pada tahun 2023 sebesar Rp 113.155.818.000. Sementara tahun 2022, hanya sebesar Rp 111.846.686.000. Jumlah pagu dana desa dalam 152 desa (gampong) di Kabupaten Abdya pada lampiran PMK tersebut bervariasi mulai dari angka terkecil Rp 600 juta hingga Rp 1 milyar lebih per gampong. Penentuan jumlah dana desa dialokasikan secara merata dan berkeadilan berdasarkan alokasi dasar, alokasi afirmasi, alokasi kinerja dan alokasi formula. Alokas...